Kemah Budaya VI : Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah (Putra)

OPTIMALISASI KEIKUTSERTAAN PENDUDUK DALAM PENGEMBANGAN POTENSI WISATA DI DESA CARANGSARI
Gede Dharmana Dwi Santika
SMA NEGERI 1 Kuta Selatan


Kabupaten Badung merupakan kabupaten dengan pariwisata sebagai tulang punggungnya. Hal ini dapat dilihat dari sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung dari sektor pariwisata khususnya Pajak Hotel dan Restoran (PHR) yang mencapai 2 Triliun lebih pada tahun anggaran 2015, dan tentu saja berubah dinamis di tahun berikutnya. Potensi objek wisata yang ditawarkan oleh “Gumi Keris” memang kaya, baik dari pesisir hingga pegunungan.
Namun seiring berkembang pesatnya pariwisata di Kabupaten Badung, memunculkan permasalahan, dimana Badung Selatan dirasa menanggung beban berat dari pariwisata Kabupaten Badung pada umumnya. Oleh karena itu, Pemkab Badung sendiri telah melaukan beberapa formula untuk melimpahkan sedikit beban wisata Badung Selatan ke kawasan di tengah dan utara. Selain melakukan promosi dari beberapa desa wisata di kawasan Badung Tengah dan Badung Utara, melalui Peraturan Bupati Nomor 47 Tahun 2010 tentang pembentukan Desa Wisata.
Desa wisata yang terbentuk salah satunya adalah Desa Wisata Carangsari yang notabene terletak di BAdung Utara. Sebagai desa wisata, Carangsari memiliki beragam potensi yang unik, sebut saja keunikan salah satu “icon” dari Desa Carangsari yaitu Pura Pusering Jagat Pusering Kangin yang menyimpan berbagai makna filosofis, baik dari perkembangan pura di Bali, maupun berdirinya Desa Carangsari. Di dalam “jeroan” pura terdapat berbagai arca dan batu megalitikum yang konon merupakan reruntuhan dari candi yang berdiri diareal pura tersebut. Kemudian juga terdapat Puri Carangsari yang dapat juga dijadikan objek penunjang desa wisata. Di dalam areal puri, pengunjung yang “tangkil” dapat mempelajari arsitektur “paimahan” Bali dan juga silsilah dari keluarga puri yang mana salah satu “warih” dari silsilah puri adalah Brigjen TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai yang merupakan pahlawan nasional, sejarah Dea Carangsari dan juga tatanan upakara Pura Puseh Kangin Pusering Jagat juga bis diperoleh dari “panglingsir” puri.
Keunikan lain yang berpotensi juga adalah adanya sistem pengairan tradisional yaitu “subak”, yang mana “subak” sendiri telah masuk ke dalam warisan budaya dunia oleh UNESCO. “subak” di desa in sendiri berkaitan langsung dengan berdirinya Desa Carangsari. Karena “krama subak” merupakan cikal bakal dari “karma desa” Carangsari. Dengan keunikan bercampur dengan kesakralan tersebut, layak apabila Carangsari dikembangkan lagi dengan kompleks kedepannya sebagai desa wisata yang mandiri.
Namun, akomodasi terhadap wisatawan dirasa masih belum optimal terhadap perkembangan desa wisata. Hal ini terjadi karena estimasi waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi adalah sekitar tigapuluh menit dari hotel maupun Bandar udara di Kuta, karena saat ini meyoritas wisatawan  pasti menginap di kawasan Kuta. Dan untuk menikmati keunikan Desa Carangsari tentu tidaklah dirasakan dalam sehari atau dua hari dan itu pun harus pulang pergi ke hotel dengan jarak + 17 km.
Maka dari itu opsi, opsi yang dapt ditawarkan adalah dengan melibatkan penduduk didalam pengadaan akomodasi pariwisata. Implementasinya dapat dilakukan dengan memanfaatkan rumah-rumah penduduk sebagai penginapan untuk para wisatawan. Hal ini tentu akan memberikan “profit” kepada penduduk itu sendiri. Keuntungan yang didapat berupa sewa penginapan dan juga bisa dari penjualan “souvenir”. Sementara para wisatawan dapat menikmati suasana “natural” kehidupan orang Bali. contohnya adalah dari hal kecil berupa “mebanten” dan juga kegiatan adat berupa “ngayah” saat piodalan maupun upacara dari warga mislnya. Dengan demikian wisatawan tidak hanya disuguhi keindahan alam semata, namun juga dapat mendalami kultur adat dari Desa Carangsari.

Sentralisasi pengelolaan akomodasi juga dapat menekan angka alih fungsi lahan di kawasan Petang umumnya dan Desa Carangsari khususnya, karena tidak diperlukan lagi membangun akomodasi baru yang mengorbankan lahan hijau, sesuai dengan filosofi Bumi Laksana Mudra Stana, dibutuhkan pengendalian untuk mempercantik dunia kita. Peran desa adat dan pemerintahan kabupaten juga dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan awig-awig desa dan juga melakukan edukasi seperti pelatihan bahasa asing misalnya. Hal inilah yang disara dibutuhkan, Karena yang dicari para wisatawan adalah budaya Bali yang natural bukan jejeran hotel mewah nan megah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Dokumenter sebagai Media Informasi Tradisi Mabuug-buugan Desa Adat Kedonganan

Kemah Budaya IX Kabupaten Badung : Juara II Karya Tulis Ilmiah (Putra)

OPINI REMAJA : LENSA LIRIGI GANTER