Kemah Budaya IX Kabupaten Badung : Juara II Karya Tulis Ilmiah (Putra)
MINIATUR NAWA DHARMANING GAMA (SEMBILAN PERJALANAN SUCI
DANG HYANG NIRARTHA) SEBAGAI PEMBELAJARAN UNTUK MULAT SARIRA DALAM MENCAPAI
KESEIMBANGAN DAN KESELARASAN HIDUP
I Nyoman Widnyana
SMAN 1 Kuta Selatan
“Awake patut
gawenin, apang manggih karahayuan, da maren ngertiang awak, waluya
matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh para tuara
mupuang”
Dang Hyang Nirartha
Kutipan diatas
menyiratkan bahwa kebenaran hendaknya selalu diperbuat agar mendatangkan
keselamatan. Hal ini diibaratkan seperti bercocok tanam, jika rajin bercocok
tanam mustahil tidak akan berhasil. Melalui kutipan diatas, hendaknya kita
dapat memaknainya sebagai salah satu pedoman dalam berperilaku. Globalisasi
telah membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan, pentingnya introspeksi diri akan menjadikan kita sebagai pribadi
yang lebih baik dan mampu
dalam menyikapi berbagai hal dan tantangan ke depan tanpa
perlu hanyut dalam dampak negatif globalisasi. Karena proses introspeksi diri
sejatinya tidak akan pernah berakhir.
Dang Hyang Nirartha
Keberadaan tokoh Dang Hyang Nirartha tentu sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat Hindu Bali. Beliau dikenal sebagai Pedanda Sakti Wau Rauh yang
merupakan seorang tokoh agama Siwa di Bali. Kedatangan beliau pada abad ke-16
Masehi bertujuan untuk memperkuat sendi – sendi keagamaan di Bali dengan salah
satu peninggalannya yang terkenal adalah Padmasana untuk memuja kebesaran
Sanghyang Tri-Purusa. Dang Hyang Nirartha membentengi Pulau Bali dari pengaruh
masuknya Agama Islam dengan persetujuan Raja Gelgel. Beliau menyusun strategi
untuk membentengi pantai-pantai yang mengitari Bali dengan membangun dan
merenovasi pura-pura yang sudah ada melalui konsep Dewata Nawasanga. Konsep ini
bertujuan untuk melindungi Bali dengan segala kekuasaan serta kekuatan Tuhan yang
mendiami sembilan penjuru mata angin dengan mendirikan pura-pura sad kahyangan
dan dang kahyangan di ke sembilan penjuru tersebut. Salah satu pura sad
kahyangan tersebut adalah Pura Luhur Uluwatu.
Sejarah Tidak Melekat pada Generasi Muda
Kehidupan dunia
yang semakin modern dan dinamis ini, membuat minat generasi muda terhadap
sejarah kian menurun. Kenyataannya, masih banyak generasi muda yang tidak tahu
terhadap cerita dan nilai sejarah yang terkandung pada suatu tempat bersejarah,
salah satunya peninggalan pura Dang Hyang Nirartha. Sikap acuh seperti ini
dikhawatirkan akan menghambat proses aktualisasi diri generasi muda melalui
konsep mulat sarira. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat rasa cinta
generasi muda terhadap sejarah dan budaya adalah memperkenalkan objek – objek
sejarah di sekitar mereka, sebagai bentuk
upaya meningkatkan aktualisasi diri generasi muda. Salah satu objek tersebut adalah keberadaan
Patung Dang Hyang Nirartha di sebelah utara Pura Luhur Uluwatu.
Pembangunan Patung
Dang Hyang Nirartha bertujuan untuk memberikan sarana edukasi dan budaya bagi
pengunjung Kawasan Pura Luhur Uluwatu khususnya
generasi muda agar dapat memahami perjalanan spiritual beliau. Hal ini berkaitan erat dengan perjalanan spiritual Dang
Hyang Nirartha yang diyakini mangalami parama moksa di Pura Luhur Uluwatu. Perjalanan beliau menuju Pura Luhur Uluwatu
memang memiliki keistimewaan tersendiri.
Sejarah Perjalanan
Dang Hyang Nirartha
Berikut sejarah
singkat terkait perjalanan suci Dang Hyang
Nirartha yang dihimpun berdasarkan catatan cerita sejarah yang ada, jurnal –
jurnal terkait dan hasil wawancara dengan pemangku pura setempat.
Setelah mengadakan
dharma yatranya ke pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat
daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang
disebut daerah berbukitan. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan
lapar dan dahaga,
akhirnya beliau tiba di daerah
perbukitan yang selalu
mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang
daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling
tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan
tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah
pura yang disebut dengan (1) Pura Gunung
Payung (Pura Tedung Jagat) dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana
tirta sampai sekarang. Ida Pedanda Saktu Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke
lokasi lain, untuk melakukan samadi yakni bawah Sawo Kecik yang rindang dan
kokoh. Tempat ini di kenal dengan (2)
Pura Geger Dalem Pemutih berlokasi di Desa Adat Peminge. Di tempat ini sekarang
didirikan pelinggih berupa tugu sebagai tempat memuja Ida Batara Ratu Gede
Panataran dalem Ped Nusa Penida. Pada Kawasan Utama Mandala terdapat pelinggih
Tugu Penyarikan sebagai stana Ida Dalem Gunung Raung yang diyakini sebagai
pengabih Dang Hyang Dwijendra. Perjalanan dilanjutkan dengan melakukan
semadi di dekat Pantai Bias
Tugel untuk menyusun Kakawin Hanang Nirartha. Kini lokasi tersebut telah
didirikan (3) Pura Bias Tugel. Perjalanan
berlanjut menuju (4) Pura Dalem Goa Batu
Pageh terletak di Banjar Kangin, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan. Pura
Dalem Goa Batu Pageh sebagai tempat Samadhi dan tapa brata Beliau. Hal ini
dibuktikan oleh adanya beberapa pratima dan sebuah batu besar di dalam goa.
Berdasarkan data dari BPCB Bali, (5) Goa
Gong ini ada kurang lebih 2600 M. Pada saat melakukan yoga semadi di Pura Uluwatu,
beliau yang sedang menulis aksara- aksara suci pada beberapa batu yang akan dijadikan dasar
pembangunan pura Uluwatu, tiba-tiba mendengar suara gong
yang mengalun-alun dari kejauhan, suara tersebut begitu halus, seolah memanggil
untuk mendekatinya. Beliaupun
tergerak hatinya untuk mencari tahu sumber suara gong
tersebut yang berasal arah Timur Laut (kaja kangin), melewati hutan dan
tegalan. Di tengah perjalanan beliau bertemu dua ekor ular perwujudan dari raja
dan ratunya wong samar yang menunggu penyupatan,. Dang Hyang Nirartha juga
minta agar wong samar tersebut bisa membantu membuat parahyangan suci di Uluwatu.
akhirnya disetujui dan secara tulus ikhlas wong samar
tersebut membantu membangun Pura Luhur Uluwatu, Perjalanan terus berlanjut
sebelum melakukan parama moksa. Ditempat ini didirikan sebuah pura yang bernama
(6) Pura Selonding yang berlokasi di
Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang
Dwijendra merasa Lelah. Maka beliau mencari tempat untuk beristirahat. Saking
lelahnya sampai-sampai beliau ketiduran. Di tempat ini lalu didirikan sebuah
pura yang diberi nama (7) Pura Parerepan.
Yang berlokasi di Desa Adat Pecatu. Mendekati
detik-detik akhir untuk parama moksa, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira
terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang
disebut (8) Pura Pengeleburan yang
berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau
melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini
terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling
bertindih, berbentuk kepala
bertengger diatas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian 50-100 meter dari
permukaan laut. Dengan demikian disebut Ulu watu. Ulu = kepala dan Watu = batu.
Tegasnya batu yang berkepala batu. Hingga kini tempat tersebut terkenal dengan (9) Pura Luhur Uluwatu.
Mekanisme Konstruksi Miniatur Nawa Dharmaning Gama
Keberadaan nilai sejarah dapat dijadikan sebagai
media wawas diri bagi generasi muda agar siap dalam menghadapi
segala rintangan kedepan. Penelitian yang dilakukan Maryati (2004)
mengungkapkan bahwa bangunan yang bernama monumen mampu menghadirkan nilai
sejarah berdasarkan pengalaman para nenek moyang dan para pendahulunya kepada
generasi penerusnya. Pengalaman ini nantinya dapat memperkuat nilai – nilai
karakter dan jati diri generasi muda. Dari penelitian yang dilakukan Maryati
(2004) serta permasalahan generasi muda yang semakin kurang tertarik untuk mengetahui
sejarah, saya mengusulkan sebuah ide yaitu Miniatur Nawa Dharmaning Gama
(Sembilan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha).
Konsep dari
Miniatur Nawa Dharmaning Gama ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan diorama
di Monumen Bajra Sandhi Denpasar. Pembuatan miniatur ini mengisahkan perjalanan
suci Dang Hyang Nirartha di daerah Kuta Selatan. Sama seperti pembangunan
Patung Dang Hyang Nirartha di sebelah utara Pura Luhur Uluwatu, miniatur ini
juga dibuat sebagai sarana edukasi budaya kepada pengunjung Pura Luhur
Uluwatu khususnya generasi muda agar dapat memahami dan mengambil nilai-nilai
yang bisa dipetik dari kisah perjalanan beliau.
Letak miniatur ini
di ruangan khusus di sekitar Patung Dang Hyang Nirartha agar memudahkan para
pengunjung mengakses informasi tentang Dang Hyang Nirartha. Miniatur ini
memiliki beberapa bagian, antara lain: 1) Miniatur utama berbentuk rute
perjalanan Dang Hyang Nirartha. 2) Miniatur masing masing – masing pura yang
menjadi tempat persinggahan beliau sebelum moksa. Pada bagian ini berisikan
tempat informasi terkait sejarah pura, denah pelinggih pura, serta informasi
lainnya yang berkaitan dengan pura tersebut.
Rencananya
pembangunan miniatur perjalanan Dang Hyang Nirartha ini bekerjasama dengan
yowana, pihak Desa Adat Pecatu,
pengelola objek wisata
kawasan luar Pura Luhur Uluwatu.
Kesimpulan
Melalui perjalanan suci
Dang Hyang Nirartha diharapkan generasi muda mampu mengimplementasikan nilai –
nilai positif yang terkandung dari perjalanan beliau dalam kehidupan kita. Miniatur
Nawa Dharmaning Gama ini merupakan simbolisasi untuk meningkatkan rasa
kepedulian generasi muda terhadap sejarah dan budaya. Sehingga nanti kita bisa
mulat sarira atau mawas diri untuk mencapai keseimbangan, keselarasan, dan
kedamaian hidup untuk kita semua. Inovasi ini perlu dikembangkan dengan
bekerjasama dengan pihak – pihak terkait, diperlukan sejarah pasti beberapa
pura dikarenakan masih terbatasnya informasi sejarah pura tersebut.
Daftar Pustaka
Jayadi Putra, Agus dkk,
2015. Augmented Realitybook Pengenalan
Tata letak Bangunan Pura Luhur Uluwatu Beserta Landscape Alam. 4 (2): 27-30.
Suka Ardiyasa, I Nyoman, 2018. Napak Tilas Dang Hyang Niratha Di Pulau
Bali.
Jurnal Sanjiwani, 9 (2): 33-34
Astu , I Wayan, 2020. Sejarah Perjalanan Danghyang
Nirarta Serta Objek Wisata Religius Di Pura Uluwatu. 1 (1) : 22-25.
Puspa Putu, 2013. Pemanfaatan Monumen
Perjuangan Bangsal sebagai
Sumber Belajar Sejarah Bagi
Generasi Muda di Desa Dalung, Badung. 1 (1) :
11-13.
Komentar
Posting Komentar